Liputan6.com, Jakarta Head of Developing Cities, East Indonesia, Grab Indonesia, Allan Graham Pangaribuan, mengatakan kerusuhan di Papua berdampak pada operasional layanan. Sudah dua pekan, operasional Grab di Papua dihentikan.
Berhentinya operasional ini, kata Allan, tidak hanya disebabkan akses internet yang diblokir oleh pemerintah. Mitra pengemudi Grab yang bukan orang asli Papua, merasa khawatir dengan keselamatan mereka di tengah kerusuhan.
Mitra pengemudi Grab di wilayah Papua kebanyakan berasal dari Jawa, Makassar, Ambon, dan Ternate. Wilayah operasional Grab di Papua berada di Jayapura dan Merauke.
"Operasional di sana berhenti disebabkan tidak ada penumpang yang order, dan mereka juga tidak mau online karena takut dengan isu ancaman-ancaman yang beredar. Operasional kami (di Papua) sudah berhenti selama 2 pekan," ungkap Allan di Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (29/8/2019).
Selain itu, para karyawan Grab pun sampai saat ini bekerja dari rumah mereka di Jayapura. Perusahaan tidak memiliki karyawan di Merauke. Sejauh ini belum ada kabar tentang rencana layanan Grab kembali beroperasi di Papua.
Allan mengatakan, Grab memiliki sekitar 5 karyawan di Jayapura. "Karyawan kami di sana juga bekerja dari rumah, dan kebetulan mereka juga bukan orang asli Papua. Kami tidak punya karyawan di Merauke, operasionalnya dari jarak jauh saja," tuturnya.
Penghasilan Mitra Pengemudi
Penghasilan mitra pengemudi Grab terpengaruh dengan adanya kerusahan. Hal ini terutama sangat terasa bagi pengemudi yang sumber pendapatannya bergantung pada layanan Grab.
Sayangnya, kata Allan, mereka tidak bisa melakukan apa pun. Terlebih lagi, pengemudi Grab sangat bergantung pada internet, yang kini aksesnya ditutup oleh pemerintah
"Sebenarnya tidak banyak yang mereka bisa lakukan. Dari sisi pemerintah juga kan membatasi akses internet, sedangkan operasional kami sangat bergantung dengan internet," kata Allan.
(Din/Ysl)
No comments:
Post a Comment